Mengenal Fenomena “Rebecca Syndrome”, Salah Satu Dampak Negatif Media Sosial Menurut Ahli
Dewi Maharani Astutik | Beautynesia
Senin, 20 Jan 2025 20:00 WIB
Mengenal Fenomena Rebecca Syndrome, Salah Satu Dampak Negatif Media Sosial Menurut Ahli/Foto: Freepik/Drazen Zigic
Pernah nggak, sih, kamu merasa cemburu banget sama hubungan masa lalu pasangan meskipun nggak ada alasan jelas buat cemburu? Bisa jadi itu adalah gejala dari “Rebecca Syncrome” yang bisa membuat stres emosional parah dan bahkan merusak hubunganmu.
Istilah ini diambil dari novel Rebecca karya Daphne du Maurier yang terbit pada 1938, yang menceritakan kisah seorang istri kedua dari seorang duda yang merasa tidak akan bisa bersaing dengan almarhum istri pertama yang dikagumi banyak orang karena kecantikannya dan kesempurnaannya.
Di zaman sekarang yang serba online, masa lalu pasangan jadi lebih mudah diakses, bahkan sebuah studi menunjukkan bahwa lebih dari setengah orang dalam hubungan pernah mencari tahu tentang mantan pasangan mereka. Psikolog Dr. Louise Goddard-Crawley menyebutkan bahwa beberapa orang bisa sangat terobsesi dengan hubungan masa lalu pasangan mereka meskipun nggak ada alasan rasional buat merasa cemburu.
Simak penjelasan yang dilansir dari Bored Panda ini untuk tahu lebih dalam tentang fenomena Rebecca Syndrome (sindrom Rebecca) beserta dampak negatifnya pada hubungan!
Sindrom Rebecca Makin Sering Terjadi
Ilustrasi/Foto: Freepik/garetsvisual
Meskipun sindrom ini masih belum diakui secara resmi sebagai gangguan psikologis, tetapi fenomena ini sudah begitu melekat dalam budaya populer, bahkan sudah diadaptasi dalam berbagai karya media oleh sutradara terkenal seperti Alfred Hitchcok dan Orson Welles. Menurut Goddard-Crawley, fenomena ini makin relevan di era modern karena keberadaan internet yang membuat orang makin mudah membandingkan diri mereka dengan standar-standar yang sering kali tidak realistis.
Goddard-Crawley menjelaskan bahwa perasaan cemburu yang berlebihan ini sebenarnya tidak rasional. Salah satu tanda umum dari sindrom ini adalah obsesi yang membuat individu terus-menerus memikirkan hubungan masa lalu pasangan mereka.
Seiring berjalannya waktu, perasaan yang tidak menyenangkan ini bisa berkembang menjadi perilaku yang mengendalikan dan mengganggu pihak yang cemburu, yang mencoba mengelola kecemburuannya tetapi gagal. Orang yang mengalami sindrom ini bisa menjadi curiga atau paranoid terhadap masa lalu pasangan mereka, bahkan percaya bahwa mantan pasangan tetap menjadi ancaman bagi hubungan yang sedang dijalani.
Sindrom Rebecca Berakar pada Trauma Masa Kecil
Ilustrasi/Foto: Freepik
Studi yang dilakukan oleh Universitas Bern, Swiss, pada 2022, mengungkap bagaimana pengalaman masa kecil memengaruhi pola kecemburuan dalam hubungan saat dewasa. Peneliti menemukan bahwa individu yang mengalami pengabaian emosional atau kasih sayang yang tidak konsisten dari pengasuhnya cenderung menunjukkan tingkat kecemburuan yang lebih tinggi di kemudian hari.
Ketika seseorang tumbuh dalam lingkungan dengan pengasuhan yang tidak stabil atau tidak konsisten, mereka bisa mengembangkan perasaan bahwa mereka akan selalu ditinggalkan atau tidak diperhatikan. Perasaan ini lama-kelamaan membuat mereka merasa bahwa “ditinggalkan” adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari atau pasti akan terjadi.
Karena perasaan ini, orang tersebut tidak hanya mengharapkan hubungan atau kasih sayang yang tidak stabil, tetapi mereka juga bisa secara tidak sadar berusaha menciptakan situasi di mana mereka merasa ditinggalkan atau diabaikan. Mereka mungkin mencari pasangan yang tidak memberikan perhatian atau kasih sayang secara konsisten karena itu adalah pola yang sudah mereka kenal sejak kecil. Jadi, meskipun mungkin mereka ingin kasih sayang, mereka tidak merasa nyaman atau aman dengan hubungan yang stabil.
Orang dengan Neurotisme Tinggi Makin Berpotensi Mengalami Sindrom Rebecca
Ilustrasi/Foto: Freepik/tirachardz
Penelitian sebelumnya juga menghubungkan antara lima dimensi kepribadian dalam psikologi modern dengan sejauh mana seseorang mungkin merasakan cemburu. Model lima dimensi ini pertama kali diajukan pada tahun 1958 oleh peneliti dari Texas Air Force, Ernest Tupes dan Raymond Christal, yang menyebutkan lima faktor yang membentuk kepribadian, yakni neurotisisme, keterbukaan, ketelitian, kesepakatan, dan ekstraversi.
Dari kelima faktor ini, neurotisisme—yang ditandai dengan kecemasan dan ketidakstabilan emosional—terbukti sebagai prediktor utama dari rasa cemburu karena individu dengan kecenderungan ini lebih menunjukkan reaksi negatif terhadap ancaman yang dirasakan dan menunjukkan perilaku obsesif terhadap masa lalu pasangan mereka yang menjadi ciri utama dari sindrom Rebecca.
Sebaliknya, orang dengan sifat yang mengarah ke kesepakatan dan keterbukaan cenderung memiliki tingkat cemburu yang lebih rendah karena mereka lebih percaya pada pasangan mereka dan lebih jarang melihat mantan pasangan sebagai pesaing. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kecenderungan kepribadian yang memengaruhi tingkat cemburu itu tidak berbeda secara signifikan antara laki-laki dan perempuan, status hubungan (sedang pacaran atau menikah), atau pengalaman masa lalu dengan ketidaksetiaan (apakah pernah diselingkuhi sebelumnya).
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Beautynesia? Yuk, gabung ke komunitas pembaca Beautynesia, B-Nation. Caranya DAFTAR DI SINI!
(naq/naq)
Komentar
Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama memberikan komentar.