Israel, Iran, dan AS: Mengapa tahun 2025 menjadi titik balik tatanan internasional

israel,-iran,-dan-as:-mengapa-tahun-2025-menjadi-titik-balik-tatanan-internasional
Israel, Iran, dan AS: Mengapa tahun 2025 menjadi titik balik tatanan internasional
Share

Share This Post

or copy the link

Serangan besar-besaran Israel terhadap Iran pada 13 Juni, yang dilakukan tanpa persetujuan dewan keamanan PBB, telah memicu pembalasan dari Teheran. Kedua belah pihak lalu saling menyerang selama beberapa hari terakhir. Akibatnya, sudah lebih dari 200 orang di Iran dan 14 orang di Israel tewas.

Meningkatnya ketegangan ini membawa konsekuensi lebih jauh. Lembaga-lembaga seperti PBB, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), dan Pengadilan Internasional untuk Penyelesaian Sengketa (ICJ), yang semakin tersisih seiring berlanjutnya serangan Israel di Gaza, kini makin tak dianggap dan tak berdaya.

Dunia seakan tengah menghadapi perubahan tatanan hukum internasional pasca-1945—hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pemerintah Israel beroperasi dengan tingkat impunitas yang makin parah. Pada saat yang sama, pemerintahan Amerika Serikat (AS) di bawah Donald Trump secara aktif merongrong lembaga-lembaga global yang seharusnya menegakkan hukum internasional.

Kekuatan global lainnya, termasuk Rusia dan Cina, memanfaatkan kesempatan ini menantang sistem aturan Barat. Kombinasi antara negara kuat yang bertindak tanpa rasa takut dan kekuatan besar yang menonaktifkan mekanisme akuntabilitas inilah yang menandai titik balik tatanan global.

Momen ini begitu jelas, sehingga kita mungkin harus memahami kembali apa yang kita anggap sudah kita ketahui tentang tata cara menjalin hubungan internasional dan pengelolaan konflik, baik untuk perjuangan Palestina maupun sistem keadilan internasional yang dibangun setelah Perang Dunia Kedua.

Pemerintah Israel, selain terus melancarkan serangan udara dengan dalih mencegah program nuklir Iran, juga maju tanpa rasa takut menerobos tiga front lainnya. Israel semakin memperketat cengkeramannya di Gaza. Tujuannya untuk menduduki Gaza dalam jangka panjang semakin mungkin terjadi.

Menteri senior Israel juga telah menguraikan rencana untuk mengambil alih dan menguasai sebagian besar Tepi Barat yang diduduki melalui perluasan pemukiman. Pencaplokan wilayah ini berlangsung tanpa kendali. Israel mengonfirmasi rencana pada bulan Mei untuk membuat 22 pemukiman baru di sana, termasuk legalisasi pemukiman yang sudah dibangun tanpa otorisasi pemerintah.

Ini disertai dengan undang-undang provokatif, seperti rancangan undang-undang yang akan menaikkan pajak pada organisasi nonpemerintah yang didanai asing. Pemerintah Israel juga terus berusaha untuk mengurangi independensi kekuasaan yudikatif.

Orang-orang berkendara saat api dan asap membubung dari gudang minyak di Teheran, Iran.

Israel terus melancarkan serangan terhadap program nuklir dan fasilitas energi Iran. Abedin Taherkenareh / EPA

Kubu garis keras dalam kabinet Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan mereka akan menjatuhkan rezim ini jika Netanyahu mengubah arah kebijakan.

ICJ bergerak dengan cepat sebagai respons terhadap tindakan Israel di Gaza dan Tepi Barat. Pada Januari 2024, lembaga ini menemukan bukti bahwa warga Palestina di Gaza berisiko mengalami genosida dan memerintahkan Israel untuk menerapkan langkah-langkah sementara guna mencegah kerusakan lebih lanjut.

Kemudian, pada Mei 2024, ketika pasukan Israel melancarkan serangan, ICJ mengeluarkan putusan lain yang memerintahkan Israel untuk segera menghentikan operasi militernya di kota Rafah di selatan Jalur Gaza. Ia juga menyerukan kepada Israel untuk memastikan akses kemanusiaan tidak terhalang masuk ke Jalur Gaza.

Lebih jauh lagi, ICJ pada bulan Juli mengeluarkan opini nasihat yang menyatakan bahwa pendudukan Israel atas wilayah Palestina adalah ilegal. ICC mengambil tindakan berani dengan mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu, mantan menteri pertahanannya Yoav Gallant, dan para pemimpin Hamas.

Mengabaikan hukum internasional

Rentetan upaya untuk menegakkan hukum internasional tersebut gagal. Israel hanya setuju untuk gencatan senjata sementara di Gaza pada Januari 2025 ketika Washington mendesaknya. Ini menunjukkan bahwa satu-satunya rem yang mungkin untuk Israel tetaplah AS.

Namun, pemerintahan Trump periode kedua ini ternyata lebih transaksional daripada periode pertamanya. Ia kini memprioritaskan kesepakatan perdagangan dan aliansi strategis—terutama dengan negara-negara Teluk—daripada penegakan norma hukum internasional.

Pada bulan Januari, Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang memerintahkan diberikannya sanksi terhadap ICC atas tindakan “tidak sah” pengadilan tersebut terhadap AS dan “sekutu dekatnya, Israel”. Sanksi-sanksi ini mulai berlaku sedikit lebih dari seminggu sebelum Israel melancarkan serangannya ke Iran.

Trump kemudian menarik AS dari dewan hak asasi manusia PBB dan memperpanjang larangan pendanaan pada Unrwa, badan bantuan PBB untuk pengungsi Palestina.

Trump lalu menerbitkan lagi perintah eksekutif pada bulan Februari untuk menahan sebagian kontribusi AS ke anggaran reguler PBB. Ia juga meluncurkan tinjauan selama 180 hari terhadap semua organisasi internasional yang didanai AS, yang menandakan adanya jalan keluar lebih lanjut atau pemotongan dana di seluruh sistem multilateral.

Pada Mei 2025, AS dan Israel kemudian meluncurkan mekanisme bantuan baru untuk Gaza yang dijalankan oleh kontraktor keamanan swasta yang beroperasi di “zona aman” yang disetujui Israel. Bantuan bersyarat pada pemindahan penduduk, dengan warga sipil di utara Gaza ditolak aksesnya kecuali mereka pindah.

Pendekatan ini—yang telah dikutuk oleh organisasi kemanusiaan—melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan yang telah dibangun sejak lama tentang netralitas dan ketidakberpihakan.

Pada dasarnya, satu pilar dari tatanan pascaperang sedang menyerang pilar lainnya. Pendiri utama PBB sekarang sedang merongrong institusi tersebut dari dalam, menggunakan hak veto Dewan Keamanan untuk memblokir tindakan sembari mengurangi sumber daya organisasi tersebut. AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata di Gaza pada 4 Juni.

Sekelompok warga Palestina membawa bantuan.

Warga Palestina membawa pasokan bantuan yang diterima dari Yayasan Kemanusiaan Gaza yang didukung oleh AS dan Israel pada 29 Mei. Haitham Imad / EPA

Implikasi dari titik balik dalam tatanan internasional ini sudah terlihat di seluruh dunia. Rusia melanjutkan perang agresinya di Ukraina meskipun ada putusan dari ICJ dan bukti ekstensif tentang kejahatan perang. Vladimir Putin tahu bahwa mekanisme penegakan hukum lemah dan terfragmentasi, serta pembuatan kesepakatan ala Trump dapat berlangsung tanpa batas.

Sementara Cina sedang meningkatkan tekanan militer terhadap Taiwan. Ia menggunakan taktik zona abu-abu, yang melakukan segala sesuatu yang mungkin dalam provokasi dan disinformasi di bawah ambang perang terbuka, tanpa terpengaruh oleh komitmen hukum untuk penyelesaian damai.

Kasus-kasus ini adalah gejala dari runtuhnya kredibilitas tatanan hukum pasca-1945. Kebijakan Israel di Gaza dan serangannya terhadap Iran bukanlah pengecualian, tetapi percepatan. Mereka sedang menunjukkan pada negara-negara lain bahwa hukum tidak lagi membatasi kekuasaan, institusi dapat dilewati, dan prinsip-prinsip kemanusiaan dapat dilanggaar untuk tujuan politik.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Israel, Iran, dan AS: Mengapa tahun 2025 menjadi titik balik tatanan internasional

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Login

To enjoy Astaga! privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us