Dengarkan artikel ini:
Dalam kunjungannya ke Singapura beberapa hari lalu, Presiden Prabowo menyebut akan “mengcopy with pride” program-program Singapura, salah satunya adalah terkait pembangunan rumah-rumah bagi rakyat. Singapura memang telah jadi salah satu percontohan bagi proyek pembangunan perumahan rakyat. Sementara, di dalam negeri Indonesia, publik lagi meributkan usulan rumah subsidi seluas 14 meter persegi yang dianggap tak layak huni.
Pemerintahan Prabowo Subianto tengah menapaki ambisi besar: menyediakan jutaan unit rumah bagi rakyat Indonesia. Namun, kini langkah awalnya justru menciptakan kegaduhan, setelah salah satu pengembang, Lippo Group, memberikan usulan pembangunan rumah subsidi berukuran hanya 14 meter persegi. Rumah yang modelnya sudah dipajang di salah satu pusat perbelanjaan itu memantik gelombang kritik. Sebuah angka yang terlalu kecil untuk disebut rumah, apalagi jika diperuntukkan bagi keluarga berpenghasilan rendah yang kerap hidup berdesakan.
Di saat yang sama, Prabowo berkunjung ke Singapura dan menyatakan kekagumannya pada sistem Housing and Development Board (HDB), program perumahan rakyat yang menjadi tulang punggung solusi hunian di Negeri Singa. “Copy with pride,” katanya. Namun ironisnya, publik Indonesia justru digegerkan oleh rencana pemerintahnya sendiri yang menawarkan rumah seluas tempat parkir mobil.
Program HDB milik Singapura memang telah diakui dunia. Lebih dari 80 persen warga Singapura tinggal di rumah HDB yang terintegrasi dengan transportasi, ruang terbuka hijau, dan fasilitas publik. Tidak hanya menjadi tempat tinggal, HDB membentuk komunitas dan memperkuat kohesi sosial. Kepemilikan rumah pun tinggi: lebih dari 90 persen keluarga memiliki tempat tinggal sendiri. Sementara di Indonesia, rumah subsidi 14 meter persegi justru dituding berpotensi menciptakan kantong-kantong kemiskinan baru.
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, mencoba meredam polemik. Katanya, ini masih sebatas diskusi. Ia bahkan menyebut ada kelompok milenial yang menilai rumah kecil itu cocok. Narasi ini berupaya membingkai rumah 14 meter sebagai pilihan, bukan pemaksaan. Tapi kritik dari para pengamat properti tak bisa diabaikan.
Pengamat property Lukito Nugroho menyebut rumah sempit tersebut tidak sesuai standar PUPR: minimal 9 meter persegi per orang. Dalam jangka panjang, katanya, rumah seperti itu justru menciptakan lingkungan kumuh, tak sehat, dan bisa menimbulkan masalah sosial baru. Serupa dengan Lukito, Ali Tranghanda menambahkan, dengan populasi padat, rumah kecil berpotensi meningkatkan kriminalitas dan kepadatan urban yang tidak terkendali.
Alih-alih menyelesaikan masalah backlog perumahan, rumah-rumah mini itu justru membuka pintu pada urban slum baru yang permanen. Kritik semacam ini seharusnya menjadi sinyal bahaya bagi pemerintah.
Rumah sebagai Soal Politik
Di balik polemik ukuran rumah, sesungguhnya ada persoalan politik publik yang jauh lebih dalam. Rumah bukan hanya bangunan fisik, tetapi juga simbol eksistensi sosial, kesejahteraan, dan hak sebagai warga negara. Dalam pemikiran David Harvey, ruang perkotaan dan akses terhadap hunian adalah bagian dari hak atas kota (“the right to the city”). Ketika negara justru menawarkan ruang hidup yang menyempit, maka secara tak langsung negara sedang menarik kembali hak warganya terhadap kota.
Harvey juga menyoroti bagaimana kapitalisme seringkali memproduksi ruang berdasarkan logika pasar, bukan kebutuhan manusia. Rumah-rumah subsidi berukuran 14 meter persegi, dalam kacamata ini, bisa dibaca sebagai kompromi negara terhadap logika biaya murah dan efisiensi semu. Bukan berdasarkan nilai kelayakan hidup, melainkan kalkulasi anggaran.
Konsep serupa juga dibahas oleh Saskia Sassen dalam “Expulsions.” Ia menyebut bahwa dalam banyak kasus modern, warga kota bukan sekadar digusur secara fisik, tapi juga secara eksistensial. Mereka dipaksa tinggal di pinggiran kota, di rumah-rumah yang tak layak, demi memberikan ruang bagi proyek-proyek yang dinilai lebih menguntungkan elite. Rumah 14 meter persegi, dalam konteks ini, bisa menjadi alat peminggiran baru.
Lalu ada teori tentang politik kebutuhan dasar dari scholar seperti Amartya Sen. Dalam kerangka capability approach-nya, Sen menekankan bahwa kesejahteraan harus diukur dari kemampuan seseorang untuk menjalani kehidupan yang mereka nilai berharga. Tempat tinggal adalah bagian dari itu. Bukan hanya soal “punya rumah,” tapi apakah rumah itu memungkinkan penghuninya untuk hidup sehat, membesarkan anak, bekerja, dan bersosialisasi. Dalam logika Sen, rumah sempit bisa jadi tidak mencukupi syarat minimal untuk menciptakan kehidupan yang bermartabat.
Dengan kata lain, kita sedang berhadapan dengan kebijakan yang keliru dari segi visi, strategi, dan makna filosofis. Di saat Prabowo ingin meniru Singapura, ia seharusnya meniru pendekatan menyeluruh ala HDB—yang bukan sekadar membangun bangunan, tapi menciptakan komunitas dan ruang hidup manusiawi.
Jalan Tengah atau Jalan Buntu?
Program rumah subsidi ini akan menjadi ujian serius bagi pemerintahan Prabowo. Ia bisa memilih untuk tetap bertahan dengan pendekatan kuantitas—membangun sebanyak mungkin rumah kecil demi mengejar target politik. Tapi pilihan ini berisiko menimbulkan masalah sosial jangka panjang: dari ledakan kawasan kumuh, penurunan kualitas hidup, hingga alienasi warga dari lingkungan urban.
Sebaliknya, Prabowo bisa menjadikan momen ini sebagai titik balik: menyusun ulang visi perumahan nasional berbasis keadilan ruang dan kesejahteraan. Ia perlu menginstruksikan Maruarar Sirait dan kementeriannya untuk membuat standar minimal rumah layak yang tidak hanya memadai secara fisik, tetapi juga terintegrasi dengan akses transportasi, air bersih, pendidikan, dan lapangan kerja.
Pilihan lain yang lebih strategis adalah mengakselerasi pembangunan rumah vertikal dengan kualitas tinggi di pusat-pusat pertumbuhan kota. Ini akan mengurangi urban sprawl dan memberikan akses lebih dekat ke fasilitas publik bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan kata lain, meniru HDB tak bisa sekadar soal bentuk bangunan, tetapi harus ikut serta dalam filosofi kebijakan: negara hadir dan menjamin.
Ke depan, pemerintah juga harus mulai melibatkan masyarakat sipil, arsitek, urban planner, hingga komunitas dalam proses perencanaan perumahan rakyat. Keberhasilan HDB bukan hanya karena negara kuat, tetapi juga karena masyarakat merasa memiliki ruang itu.
Jika tidak ada koreksi arah, maka jalan menuju jutaan rumah impian Prabowo justru bisa menjadi jalan buntu. Rumah subsidi akan gagal menjadi solusi dan justru memperburuk masalah perumahan di Indonesia. Dan pada saat itulah, janji kampanye untuk menyediakan rumah bagi rakyat berubah menjadi bumerang.
Dalam politik, terkadang niat baik saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah visi, keberanian untuk belajar dari pengalaman negara lain secara utuh, serta kesediaan untuk menolak jalan pintas. Rumah bukanlah sekadar proyek infrastruktur. Ia adalah fondasi dari martabat manusia. Dan sebesar apa pun impian Prabowo, semua akan percuma jika rakyat hanya diberi tempat tinggal sempit yang bahkan tidak bisa disebut rumah. (S13)