Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Di tengah ketidakpastian global dan konflik Iran-Israel, plus Amerika Serikat, Menteri Pertahanan RI Sjafrie Sjamsoeddin dihadapkan pada dilema klasik pertahanan Indonesia: alutsista mencolok vs. sistem pertahanan menyeluruh.
Dalam dinamika geopolitik global yang kian kompleks, keberadaan pertahanan negara tidak lagi hanya menjadi fungsi pasif dari suatu negara yang berdaulat, melainkan merupakan instrumen strategis utama dalam menjaga posisi, wibawa, serta kelangsungan hidup bangsa.
Menteri Pertahanan RI saat ini, Sjafrie Sjamsoeddin pun tentu memahami hal tersebut, terutama berkaca pada dinamika terkini di Timur Tengah, yang dapat menjadi refleksi terhadap bagaimana kesiapan pertahanan dan militer +62 sendiri.
Utamanya, saat berhadapan dengan persoalan klasik, mulai dari keterbatasan anggaran, pembelian alutsista “mencolok mata”, dan absennya sistem pertahanan menyeluruh.
Situasi ini menjadi semakin relevan jika melihat perkembangan konflik aktual seperti eskalasi antara Israel dan Iran, di mana penggunaan alutsista canggih seperti stealth bomber B-2 oleh Amerika Serikat untuk menyerang infrastruktur nuklir Iran menunjukkan bagaimana kekuatan udara dan sistem pertahanan strategis memainkan peran krusial dalam dominasi militer modern.
Laporan menyebutkan penggunaan beberapa pesawat B-2 Spirit dan bom bunker, plus interoperabilits serta decoy serangan dengan gugus tugas kapal laut dan selam dalam misi tersebut, sebuah proyeksi kemampuan tempur dan daya jangkau ofensif yang mana Indonesia saat ini belum mampu mendekatinya, bahkan dalam aspek defensif.
Namun yang lebih mendalam, perenungan ini tidak dimaksudkan sebagai glorifikasi terhadap senjata canggih atau pendekatan ofensif belaka, melainkan mengajak pemerintah, khususnya di bawah Sjafrie Sjamsoeddin, untuk mengadopsi logika strategis dan defense readiness yang utuh, multi-domain, dan tidak terjebak dalam pembelian peralatan militer yang hanya bersifat simbolik atau diplomatik.
Lantas, mengapa hal tersebut menjadi penting?
“Gucci Gear” vs. Sistem Pertahanan Menyeluruh
Salah satu persoalan laten yang selalu membayang-bayangi sektor pertahanan Indonesia adalah pemilihan dan prioritas pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista).
Banyak kalangan mengkritik bahwa fokus pemerintah terlalu banyak diarahkan pada jet tempur atau peralatan tempur dengan tampilan visual yang mengesankan di publik, yang kerap dijuluki sebagai “gucci gear”.
Ini mencakup tank-tank tempur, helikopter serang, kapal laut, hingga jet tempur bekas yang hanya bersifat “kosmetik” di hadapan ancaman nyata seperti cyber warfare, drone swarm, rudal jarak jauh, dan serangan udara presisi.
Dalam konteks ancaman kontemporer dan simulasi serangan seperti yang terjadi antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat, yang menjadi garis kritis adalah kesiapan sistem pertahanan udara (air defense system), radar peringatan dini, sensor bawah laut, hingga sistem komando dan kendali (C4ISR: Command, Control, Communications, Computers, Intelligence, Surveillance, and Reconnaissance) yang terintegrasi.
Indonesia, sayangnya, belum memiliki beberapa alutsista krusial yang mendasar. Pertama, Integrated Air Defense System (IADS) yang mampu mendeteksi dan merespons serangan rudal jelajah atau balistik secara cepat.
Kedua, Radar bawah laut dan sonar array untuk deteksi kapal selam musuh, terutama di kawasan ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) yang sangat strategis. Ketiga, tentu rudalnya sendiri, baik jenis surface-to-air (SAM), anti-ship cruise missile, atau ballistic missile sebagai deterrent power.
Terakhir, kecerdasan buatan (AI) dan drone combat systems, sebagai respons terhadap transformasi multi-domain warfare.
Masalahnya bukan semata pada ketidaktahuan atau ketidakinginan, tetapi sering kali pada politik anggaran dan kepentingan vendor, di mana pembelian alutsista dilakukan berdasarkan pendekatan diplomatik dan relasi bilateral, bukan berdasarkan doktrin militer dan perencanaan kebutuhan jangka panjang.
Yang lebih disayangkan, hal itu disebut-sebut kerap diperburuk oleh pendekatan birokratis dan politis dalam pengelolaan belanja militer.
Jika dibandingkan, misalnya dengan Singapura, negara tersebut meskipun kecil, justru memiliki salah satu sistem pertahanan udara terbaik di Asia Tenggara. Mulai dari Iron Dome-style system hasil kerja sama dengan Israel dan AS, Spyder-MR dan Aster-30 sebagai lapisan mid-range dan long-range air defense, hingga early warning radar (EWR) yang terhubung dengan command center yang efisien dan otomatis.
Sementara itu, Thailand telah mulai mengembangkan integrasi detection and denial systems untuk wilayah laut dan udara mereka.
Bahkan, di sudut berbeda, Vietnam kabarnya secara diam-diam meningkatkan kemampuan rudal anti-kapal dan sistem pertahanan udara buatan Rusia sebagai respons terhadap konflik Laut China Selatan.
Di titik ini lah, refleksi ke segala arah menjadi penting ketika persoalan kasih, utamanya yang masih berkutat pada modernisasi parsial, dengan doktrin pertahanan yang masih belum terintegrasi secara utuh, dan bahkan rawan tumpang tindih kepentingan antara TNI AD, AL, AU dalam perebutan anggaran yang seolah menjadi rahasia umum.

Butuh Kejelasan Strategis?
Kembali, Sjafrie Sjamsoeddin bukanlah aktor baru dalam dunia militer dan pertahanan. Sebagai tokoh dengan rekam jejak panjang di militer, serta posisi strategis di masa lalu, kini harapan publik dan komunitas pertahanan tertuju pada kemampuannya membenahi apa yang selama ini menjadi problem mendasar, yakni arah kebijakan yang reaktif, sporadis, dan dangkal.
Di sinilah makna kontemplasi stealth bomber menemukan urgensinya, berpikir dalam senyap, bergerak dalam presisi, dan menyerang dalam efektivitas. Bukan hanya dalam arti militer, tetapi dalam merumuskan kebijakan yang tidak gaduh tapi berdampak nyata.
Sjafrie diharapkan menghindari jebakan dua kutub ekstrem, yaitu “pamer kekuatan” simbolik ala show of force, seperti parade militer terlalu “over” atau unjuk persenjataan tanpa peningkatan interoperabilitas dan simulasi latihan tempur sesungguhnya.
Di sisi lain, “manuver senyap” juga agaknya mau tidak mau harus dilakukan saat agenda belanja pertahanan hanya menguntungkan vendor tertentu, tanpa pertimbangan kebutuhan jangka panjang dan integrasi antar-matra.
Keberanian untuk merumuskan ulang postur pertahanan bukan hanya soal membeli yang tercanggih, melainkan membangun kesadaran strategis nasional di tengah kemungkinan eskalasi regional seperti konflik di Timur Tengah.
Indonesia sebagai negara kepulauan dan demokrasi besar Asia perlu menjaga kedaulatannya bukan melalui ilusi kekuatan, melainkan kejelasan sistem pertahanan berlapis.
Dalam posisi inilah, bukan hanya sebagai living legend militer dan penerus sangat ideal Prabowo Subianto sebagai Menhan, Sjafrie juga dapat menjadi simbol dari “stealth bomber” kebijakan yang tidak mencolok, tetapi menghantam akar persoalan dengan akurat.
Bukan untuk serangan, tetapi untuk perlindungan. Dalam kontemplasi diamnya, harus lahir kebijakan lantang di mana pertahanan bukan panggung, tetapi fondasi eksistensi bangsa. Tentu itu yang diharapkan dapat menjadi nyata. (J61)