● UU TNI baru memberikan ruang bagi militer untuk menanggulangi ancaman pertahanan siber.
● Kewenangan tersebut dapat mengancam kebebasan berekspresi warga di media sosial.
● Harus ada mekanisme pengawasan dan koordinasi tugas yang jelas terkait implementasi UU TNI.
Pernahkah terbayangkan bagaimana kalau militer nantinya mengawasi konten-konten kita di media sosial? Hak kebebasan berekspresi, hak privasi, dan hak informasi masyarakat hampir pasti akan terancam.
Kekhawatiran ini sangat mungkin terjadi usai revisi Undang-Undang (UU) TNI Maret lalu. Salah satu perubahan utama UU tersebut yang menjadi perhatian utama adalah pasal 7(2) huruf b. Beleid tersebut memberikan ruang bagi TNI untuk membantu upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber.
Hal ini menambah kekhawatiran masyarakat terhadap regulasi yang masih rentan penyalahgunaan, seperti Undang–Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), kehadiran militer di ranah siber justru berpotensi menimbulkan ketakutan dan intimidasi bagi warga.
Alih-alih menjaga ruang digital dari ancaman siber, keberadaan UU TNI yang baru ini justru kian menggerus kebebasan berekspresi warga di media sosial.
Ancaman kebebasan sipil
Menurut Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dan jaringan Digital Democracy Resilience Network (DDRN) perluasan wewenang TNI tersebut membawa potensi pengetatan regulasi berekspresi di media sosial, pembatasan informasi, hingga pemblokiran website dengan dalih ancaman siber.
Salah satu potensi pembatasannya adalah swasensor pada aktivitas digital masyarakat. Secara umum, swasensor dapat didefinisikan sebagai tindakan individu yang secara sengaja dan sukarela menahan informasi dari orang lain, seperti mengurangi kritik kepada negara atau pemerintah.
Perluasan peran TNI dalam menanggulangi ancaman siber bisa membuka ruang bagi negara untuk menargetkan pihak-pihak yang hendak memberikan kritik kepada pemerintah. Wewenang ini bisa menyulap kritik dan komplain penyelenggaraan negara menjadi tuduhan hoaks, mengancam pemerintah atau memecah belah bangsa. Padahal itu hanya sekadar kritik dari rakyat sipil.
Tumpah tinding kewenangan
Di Indonesia, aturan peran militer dalam dunia siber dalam UU TNI masih ambigu dan bisa menimbulkan tumpang tinding dengan lembaga-lembaga lain yang sudah ada, seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), dan Kepolisian. Masing-masing lembaga tersebut juga memiliki fungsi dan kewenangan dalam menjaga keamanan siber, termasuk dalam pengelolaan dan moderasi konten.
Lagipula, penegakan hukum terkait serangan atau kejahatan siber selama ini telah dilakukan oleh Polri. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana peran TNI nantinya akan direalisasikan tanpa mengganggu tugas yang sebelumnya telah dilakukan oleh BSSN, Komdigi, dan Polri.
Pembelajaran dari negara maju
Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang melibatkan militer dalam menjaga keamanan dunia siber. Beberapa negara demokrasi, seperti Amerika Serikat (AS), Jerman, Prancis, Inggris, Belanda, dan Australia, juga melibatkan militer dalam ruang siber.
Namun, negara-negara tersebut memiliki kebijakan yang memungkinkan pelibatan tersebut dapat berjalan tanpa melanggar kebebasan sipil.
Pertama, adanya pemisahan peran antara aktor sipil dan militer. Mereka memiliki sistem yang jelas dalam memisahkan peran aktor sipil dan militer di ruang siber.
Di Belanda, Jerman dan Inggris, militer tidak terlibat dalam penanganan isu siber domestik secara rutin. Militer hanya dapat melakukan melakukan operasi siber pada kasus-kasus luar biasa, seperti serangan siber pada infrastruktur strategis yang dilakukan oleh aktor negara lain.
Dengan kata lain, keterlibatan militer dalam keamanan siber bersifat sangat selektif dan fokus pada ancaman eksternal.
Kedua, negara-negara maju memiliki mekanisme pengawasan yang ketat atas keterlibatan militer di ruang siber. Belanda, misalnya, memiliki Departemen Pengawasan dan Penanganan Aduan yang bertugas meninjau dan menangani pengaduan terkait dugaan pelanggaran kewenangan oleh militer di ranah siber.
Sementara di Indonesia, mekanisme pengawasan terhadap TNI dalam ruang siber masih belum jelas. Pengawasan yang tidak jelas dapat berisiko pada penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran hak-hak sipil.
Ketiga, adanya transparansi dari pemerintah. Pemerintah Inggris secara berkala mempublikasikan efektivitas inisiatif keamanan siber yang mereka lakukan.
Australia juga membuka akses kepada publik atas Strategi Keamanan Siber yang mereka miliki. Sementara Belanda, melakukan konsultasi publik terbuka sebelum mengesahkan regulasi terkait operasi militer di ranah siber.
Di Indonesia, proses revisi UU TNI justru berlangsung sebaliknya. Draf revisi aturan saja sangat sulit diakses oleh publik. Pun, tidak ada ruang diskusi publik terbuka sebelum pengesahannya.
Kurangnya transparansi dalam proses ini menimbulkan kekhawatiran bahwa revisi UU TNI justru lebih mengutamakan kepentingan militer daripada mempertimbangkan hak-hak sipil.
Harus ada mekanisme pengawasan dan koordinasi tugas yang jelas terkait bagaimana UU TNI ini akan diimplementasikan. Terpenting, harus terdapat jaminan dari negara bahwa aktivitas militer di ranah siber tidak akan memasuki dan mengerdilkan ruang berekspresi sipil.