Dengarkan artikel ini. Audio ini dibuat dengan teknologi AI.
Belakangan ini, absennya Xi Jinping dari publik menjelang KTT BRICS 2025 menarik perhatian sejumlah media internasional. Fenomena seperti ini bukan hal baru, dan pernah terjadi juga pada beberapa pemimpin dunia lainnya.
Beberapa minggu terakhir, wacana menarik kembali mewarnai jagat politik internasional. Sejumlah media seperti WION, Firstpost, dan The Spectator mulai mengangkat satu topik yang relatif jarang muncul: keberadaan Presiden Tiongkok Xi Jinping.
Mereka menyebutkan bahwa dalam beberapa pekan terakhir, Xi disebut-sebut tidak muncul di hadapan publik. Fenomena ini menjadi sorotan karena berbarengan dengan konfirmasi bahwa Xi tidak akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2025 yang digelar pada 6–7 Juli di Brasil.
Absensi ini otomatis menjadi pertama kalinya Xi Jinping tak hadir secara langsung dalam pertemuan BRICS sejak Tiongkok menjadi anggota pendiri. Mengingat Xi selama ini dikenal sebagai figur sentral dalam narasi BRICS, ketidakhadirannya tentu menimbulkan tanda tanya besar.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi dengan Xi Jinping? Apakah ini hanya strategi komunikasi politik, atau ada intrik politik yang tidak terlihat oleh masyarakat umum?

“Hilang” Adalah Komunikasi Politik?
Fenomena pemimpin negara besar yang “menghilang” dari sorotan publik bukanlah sesuatu yang baru atau aneh. Sejarah mencatat bahwa sejumlah pemimpin kuat (strong leaders) kerap menjalani masa-masa di mana mereka tidak tampil ke publik secara langsung dalam waktu yang tidak singkat.
Pada tahun 2023, misalnya, Presiden Rusia Vladimir Putin sempat tidak terlihat publik secara fisik selama berminggu-minggu. Banyak spekulasi bermunculan kala itu—mulai dari isu kesehatan, kabar pengamanan ketat akibat perang Ukraina, hingga strategi komunikasi yang disengaja. Namun pada akhirnya, Putin kembali muncul dan menjalankan agenda-agenda kenegaraan tanpa memberikan penjelasan yang terlalu rinci.
Hal serupa pernah terjadi pada Kim Jong Un pada tahun 2020. Pemimpin Korea Utara itu sempat dikabarkan tidak muncul di hadapan publik selama lebih dari dua minggu. Isu-isu spekulatif kemudian ditepis setelah ia muncul dalam kunjungan lapangan, dan membuktikan bahwa “menghilang” bisa jadi adalah bagian dari kontrol narasi yang biasa.
Presiden Tiongkok Xi Jinping pun pernah mengalami hal serupa pada September 2022, ketika ia absen dari publik selama hampir dua minggu usai pulang dari kunjungan luar negeri. Saat itu, muncul spekulasi soal potensi gejolak politik, namun semua itu berangsur hilang ketika Xi kembali tampil dalam forum resmi.
Jika kita menarik pola dari ketiga tokoh ini, ada semacam “tradisi” di mana strong leaders memilih menarik diri dari publik dalam momen-momen tertentu. Setidaknya, ada tiga asumsi yang kerap muncul untuk menjelaskan fenomena ini:
1. Alasan kesehatan. Bagi pemimpin kuat seperti Putin dan Xi, citra fisik yang prima sangat penting karena menyangkut simbolisme politik. Tampil kurang sehat di depan publik bisa memicu spekulasi dan keraguan, baik dari rakyat, politisi lain, dan internasional. Karena itu, jika sedang tidak fit, wajar bila seorang strong leader cenderung memilih menghilang sejenak.
2. Alasan keamanan dan stabilitas politik. Dalam negara-negara yang cenderung terpusat dengan satu sosok figur, seperti Rusia dan Tiongkok, ada kalanya para pemimpin menghindari tampil di publik demi menjaga stabilitas narasi, terutama ketika ada tekanan geopolitik atau potensi konflik internal.
3. Strategi komunikasi politik “laying low”. Dalam beberapa kasus, ketidakhadiran bisa jadi adalah bagian dari taktik komunikasi. Dengan tidak tampil, seorang pemimpin dapat “membiarkan spekulasi tumbuh”, sekaligus membangun aura ketidakpastian, dan kontrol penuh atas narasi yang berkembang.
Untuk kasus Xi Jinping di BRICS 2025, sebuah analisis dari CNN menyebutkan bahwa absennya Xi kemungkinan besar disebabkan oleh fokus Beijing terhadap masalah tarif dagang dengan Amerika Serikat, serta berbagai tekanan domestik, seperti di sektor ekonomi. Artinya, ketidakhadiran ini bukanlah penarikan diri sepenuhnya dari pergaulan internasional, tetapi lebih kepada reorientasi prioritas.
Dalam konteks seperti ini, ketidakhadiran Xi tak serta-merta menunjukkan ketidakstabilan, tetapi bisa dibaca sebagai pergeseran fokus ke dalam negeri di tengah tekanan global yang kompleks.

Terlalu Dilebih-lebihkan?
Namun dari seluruh dinamika ini, ada satu hal yang menarik untuk dicermati lebih jauh: sebagian besar pemberitaan tentang absennya Xi Jinping justru pertama kali mencuat dari media-media asal India.
Apakah ini sekadar kebetulan? Atau memang ada dinamika lain di baliknya?
Dalam konteks geopolitik Asia, India dan Tiongkok memang memiliki sejumlah tensi—baik dalam hal perbatasan di Himalaya, persaingan di Indo-Pasifik, maupun pengaruh di forum multilateral seperti BRICS. Maka tak heran, ketika ada kabar tentang absennya Xi, media India mungkin melihatnya sebagai peluang untuk menyorot isu tersebut dari sudut pandang yang mengundang perhatian publik mereka.
Perlu dicatat bahwa dalam era ekonomi perhatian (attention economy), informasi yang mengandung unsur “ketidakhadiran” atau “misteri” dari pemimpin negara besar bisa menjadi bahan clickbait yang sangat kuat. Ketika narasi seperti itu menyasar negara pesaing, maka akan ada tambahan dorongan untuk menjadikannya headline utama.
Namun demikian, kita juga perlu objektif melihat bahwa menghilangnya strong leader sesekali adalah hal yang lumrah. Ketidakhadiran Xi di KTT BRICS, jika benar-benar karena alasan domestik dan diplomatik, tidak serta-merta menandakan krisis atau kemunduran. Ini hanyalah satu fragmen dalam dinamika besar politik internasional—yang terus berubah dan berkembang.
Dalam konteks inilah, sorotan media India tidak sepenuhnya salah, tetapi mungkin perlu dilihat dalam bingkai yang lebih luas: antara fakta, persepsi, dan strategi pemberitaan di era geopolitik digital. (D74)