Audio ini dibuat dengan teknologi AI
RUU Perlindungan dan Kesejahteraan Hewan akhirnya lolos ke Prolegnas 2026 — bukan cuma kemenangan bagi para anabul, tapi juga simbol bagaimana algoritme media sosial bisa mengubah arah politik.
RUU Perlindungan dan Kesejahteraan Hewan akhirnya resmi masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026. Keputusan ini sontak disambut dengan rasa lega oleh para pegiat hak-hak hewan, dokter hewan, dan masyarakat luas yang telah lama menantikan payung hukum baru bagi kesejahteraan satwa di Indonesia.
Bagi banyak pihak, masuknya RUU ini merupakan momentum bersejarah. Sebab, hanya setahun sebelumnya, pada 2024, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI justru menghapus usulan serupa, yaitu RUU Pelarangan Kekerasan terhadap Hewan. Kala itu, alasan penghapusan dinilai politis dan menunjukkan rendahnya prioritas politik terhadap isu kesejahteraan hewan.
Kini, arah itu tampak berbalik. RUU yang sempat tersingkir, justru kembali diusulkan dan diterima untuk dibahas di tahun depan. Pertanyaannya, apa yang membuat suasana politik berubah begitu cepat? Mengapa isu perlindungan hewan yang sebelumnya dianggap “pinggiran” kini justru menjadi agenda utama parlemen?

Saat “Anabul” Menekan Parlemen
Fenomena ini sulit dilepaskan dari satu faktor penting yang kerap luput dalam analisis politik konvensional: kekuatan algoritme media sosial. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami lonjakan luar biasa dalam produksi dan konsumsi konten bertema hewan peliharaan — khususnya kucing dan anjing, atau yang akrab disebut “anabul” (anak bulu).
Menurut laporan DataReportal (2025), lebih dari 64% pengguna media sosial Indonesia menyukai atau membagikan konten bertema hewan. Di TikTok, tagar #Anabul telah ditonton lebih dari 5,7 miliar kali, sementara #CatsofIndonesia dan #DogsofIndonesia menembus ratusan juta tayangan. Laporan Hootsuite 2024 bahkan menyebut konten pet lifestyle sebagai salah satu dari tiga kategori dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara, mengalahkan topik fesyen dan makanan.
Tren ini bukan sekadar hiburan. Ia membentuk basis emosi kolektif baru — semacam digital empathy yang menormalisasi kepedulian terhadap hewan. Makin sering warganet melihat konten kucing terlantar diselamatkan, atau anjing yang diperlakukan manusiawi, makin besar pula tekanan moral yang terbangun terhadap pihak-pihak yang dianggap abai pada kesejahteraan satwa.
Dalam konteks politik, empati digital ini menciptakan tekanan tak langsung terhadap para pembuat kebijakan. Isu perlindungan hewan yang sebelumnya dianggap “tidak seksi secara elektoral” kini mulai berubah citranya. Ia menjadi bagian dari narasi kepedulian, empati, dan moral publik — nilai-nilai yang amat resonan dengan generasi muda pemilih, terutama Gen Z dan milenial urban.
Bisa jadi, para politisi membaca gelombang ini dengan cermat. Kenaikan tren pet content bukan hanya berarti perubahan gaya hidup, melainkan perubahan opini publik yang potensial menjadi modal politik. Narasi “sayang anabul” kini bisa diterjemahkan sebagai bentuk soft populism: politik empati yang mampu menciptakan citra positif di ruang digital.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana algoritme dapat menjadi aktor politik baru. Ketika platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube mengedepankan konten dengan keterlibatan tinggi, tema-tema seperti penyelamatan hewan atau cerita inspiratif dokter hewan menjadi lebih sering muncul di beranda publik. Dari sinilah lahir efek bola salju — semakin banyak yang melihat, semakin banyak pula yang peduli, hingga akhirnya mendorong pergeseran opini publik.
RUU Perlindungan dan Kesejahteraan Hewan kemungkinan besar adalah buah dari tekanan opini semacam ini. Politisi melihat bahwa dukungan terhadap isu kesejahteraan hewan kini bisa diterjemahkan sebagai langkah progresif dan berempati. Di sisi lain, menolak atau mengabaikannya justru berisiko menciptakan persepsi negatif di dunia digital — dunia yang kini juga menjadi medan utama pembentukan reputasi politik.
Dengan kata lain, lolosnya RUU ini tak hanya hasil dari kesadaran moral semata, melainkan juga refleksi dari politik algoritme: bagaimana arus digital membentuk agenda kebijakan. Bila dahulu tekanan politik datang dari jalanan, kini ia datang dari feed media sosial — dengan kucing dan anjing sebagai simbol barunya.

Dampak Multidimensi
Namun, implikasi positif dari RUU Perlindungan dan Kesejahteraan Hewan tidak berhenti pada urusan moral atau citra digital semata. Bila dijalankan dengan serius, RUU ini berpotensi menciptakan manfaat multidimensi — sosial, kesehatan, hingga ekonomi.
Pertama, dari sisi profesi, regulasi ini memberi angin segar bagi para dokter hewan. Selama ini, posisi mereka sering kali berada di bawah “bayang-bayang” sektor peternakan. Akibatnya, dukungan finansial, perlindungan kerja, dan otoritas profesi mereka kerap diabaikan. RUU ini diharapkan bisa menjadi pijakan untuk memperjelas kedudukan dan tanggung jawab dokter hewan sebagai bagian dari sistem kesehatan masyarakat, bukan sekadar pengelola ternak.
Kedua, dari sisi kesehatan publik, penguatan regulasi terkait kesejahteraan hewan akan berdampak langsung terhadap penurunan risiko penyakit zoonosis, seperti rabies. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, pada 2024 terdapat 185.359 kasus gigitan hewan penular rabies, dengan 122 kematian yang tercatat. Pengawasan lebih ketat terhadap peredaran daging, vaksinasi hewan, dan standar kesejahteraan akan menjadi langkah penting dalam mencegah wabah.
Ketiga, dari sisi ekonomi dan investasi, regulasi ini juga berpotensi meningkatkan kepercayaan asing terhadap sektor peternakan dan produk hewani Indonesia. Lembaga internasional seperti World Organisation for Animal Health (WOAH) dan FAO selama ini menekankan pentingnya veterinary authority yang kuat untuk memastikan standar biosekuriti dan kesejahteraan hewan — salah satu syarat utama dalam perdagangan global produk hewani.
Dengan demikian, payung hukum ini bisa menjadi modal penting bagi Indonesia untuk memperluas pasar ekspor, menarik investasi di bidang agribisnis, serta membangun citra negara yang peduli terhadap etika dan keberlanjutan.
Pada akhirnya, lolosnya RUU Perlindungan dan Kesejahteraan Hewan menunjukkan bahwa politik di era digital tak lagi bergerak hanya oleh suara elite, melainkan juga oleh arus empati publik yang difasilitasi algoritme. Kekuatan politik kini bisa datang dari seekor kucing presiden bernama Bobby Kertanegara, dari tagar #SaveAnabul, atau dari jutaan warganet yang tanpa sadar mengubah opini publik lewat like dan share.
Jika dijalankan dengan konsisten, politik empati ini bisa menjadi momentum baru: bukan hanya untuk menyelamatkan hewan, tapi juga untuk memperkuat moral, kesehatan, dan ekonomi bangsa. Dalam arti tertentu, lolosnya RUU ini bukan hanya kemenangan bagi para anabul — tapi juga kemenangan bagi evolusi politik kita sendiri. (D74)