● Negara kerap menyebut kaum muda sebagai aset bangsa.
● Di ruang publik, kaum muda justru sering mendapatkan stigma sebagai generasi rapuh dan manja.
● Negara hanya manfaatkan suara kaum muda, tetapi gagal menjamin kesejahteraan ekonomi mereka.
Apa yang ada di benak kita ketika mendengar kata pemuda atau kaum muda? Lebih dari sekedar kelompok usia, pemuda dapat dilihat sebagai masa transisi yang menjadi peralihan dari pendidikan menuju dunia kerja.
Diskursus tentang pemuda tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan bernegara. Kaum muda kerap disebut sebagai penggerak demokrasi dan aset emas terkait bonus demografi. Generasi milenial dan Gen Z sering kali dielu-elukan karena dianggap sebagai penentu masa depan suatu negara.
Namun, tidak jarang stereotip negatif juga dilekatkan pada kaum muda–dituduh sebagai sumber permasalahan sosial seperti seks bebas, kekerasan, penyakit mental, dan bentuk “kenakalan remaja” lainnya.
Dirayakan tetapi dicaci, kaum muda saat ini sering kali terjebak dalam dua narasi yang saling kontradiktif—sebagai harapan kemajuan atau sumber degradasi moral bangsa.
Dualitas zilenial: Disanjung tapi disangsikan
Narasi positif yang melihat pemuda sebagai penentu arah kebijakan dan inovasi bangsa banyak digaungkan oleh pemerintah belakangan ini. Menguatnya narasi ini terlihat saat pemerintah melakukan penunjukan staf khusus presiden dari kalangan Milenial pada masa krisis COVID-19–meskipun representasinya masih bersifat simbolik dan elitis.
Representasi yang simbolik ini bisa dikaitkan juga dengan fenomena youth washing, kekhawatiran yang banyak disuarakan oleh aktivis muda dalam perjuangan mereka untuk gerakan iklim. Pemerintah dan korporasi mengampanyekan narasi kepemudaan hanya untuk marketing supaya terlihat inklusif. Faktanya, kaum muda hanya dijadikan maskot tanpa partisipasi yang berarti.
Di ruang publik, kaum muda juga sering mendapatkan stigma sebagai “generasi stroberi” yang rapuh, manja, dan rawan mengalami gangguan mental.
Padahal, kaum muda, termasuk generasi Milenial dan Gen Z, merupakan generasi yang justru menghadapi kerentanan berlapis. Minimnya akses terhadap layanan kesehatan mental, kegagalan sistem pendidikan, terbatasnya lapangan pekerjaan, dan sulitnya mencapai kestabilan ekonomi, hanyalah beberapa dari banyaknya dilema yang harus dihadapi para generasi emas ini.
Sedihnya, banyak narasi yang justru menjadikan pemuda sebagai kambing hitam, seolah-olah semua dilema itu adalah kesalahan mereka sendiri, misalnya tingginya tingkat pengangguran di kalangan Gen Z yang dikaitakan dengan kemalasan.
Dieksploitasi politik, disalahkan kapitalis
Masih ingat bagaimana pemuda dijadikan fokus utama dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lalu?
Mulai dari jumlah pemilih muda yang mencapai 55%, banyaknya jajaran elite partai politik yang menggaungkan pentingnya partisipasi pemuda, sampai pencalonan anak muda sebagai bakal wakil presiden yaitu Gibran Rakabuming Raka—terlepas dari semua kontroversinya.
Saat itu pemuda dirayakan karena menguntungkan secara politis dan dapat dimobilisasi untuk kepentingan penguasa.
Pada kenyataannya, pemuda menjadi korban kegagalan sistem kapitalisme dan ketidakmampuan negara untuk memberikan penghidupan yang layak. Kegagalan ini menormalisasi precarity—ketidakpastian dunia kerja yang ditandai oleh gig economy, freelance, dan hustle culture, yang sangat erat dengan kehidupan millenial dan Gen Z.
Gaji tak kunjung naik. Promosi mesti pindah perusahaan. Skripsi belum juga ACC. Diet ketat, berat badan tak turun juga. Lingkungan kerja toxic, bosnya narsistik. Gaji bulan ini mesti dibagi untuk orang tua dan anak. Mau sustainable living, ongkosnya mahal. Notifikasi kantor berdenting hingga tengah malam. Generasi Zilenials hidup di tengah disrupsi teknologi, persaingan ketat, dan kerusakan lingkungan.
Simak ‘Lika Liku Zilenial’ mengupas tuntas permasalahanmu berdasar riset dan saran pakar.
Dalam konteks negara dan pasar, kaum muda diposisikan sebagai human capital untuk dieksploitasi dan dipakai sebagai objek pembangunan, objek untuk dilatih, untuk mengikuti logika pasar, tanpa adanya upaya untuk mengatasi akar masalah yang sebenarnya.
Kaum muda menghadapi tekanan untuk berfokus pada program enterpreneurship, dipaksa untuk selalu adaptif, terus mengembangkan skill dan tetap resilient.
Hal tersebut memang bukan hal yang buruk. Tidak ada yang salah dengan peningkatan skill dan resiliensi, serta keharusan untuk adaptif dengan perkembangan zaman.
Namun, hal ini menjadi problematik ketika pelatihan enterpreneur dilakukan tanpa dukungan infrastruktur dan perbaikan sistem.
Ini terlihat dalam program-program pemberdayaan pemerintah yang menyasar pemuda, contohnya Petani Milenial. Di satu sisi, program ini sangat menjanjikan karena mengajarkan pemuda skill baru untuk berinovasi. Di sisi lain, kesiapan sistem dan infrastruktur sektor pertanian untuk mengakomodasi keterampilan mereka masih dipertanyakan.
Mengkritik narasi tentang kaum muda
Sudah saatnya kita mengkritisi narasi tentang generasi muda. Apakah betul mereka dianggap representatif dan menjadi subjek pembangunan, atau justru alat pengalihan perhatian oleh negara untuk lari dari tanggung jawab terhadap permasalahan struktural seperti ketimpangan ekonomi, pendidikan, dan ketenagakerjaan?
Kaum muda harus mendapatkan ruang sebagai agen politik dan warga negara yang utuh, sebagai kelompok yang harus dimengerti dengan segala kompleksitasnya.
Kategorisasi pemuda yang bersifat seragam sangat menguntungkan secara politis karena mengaburkan perbedaan-perbedaan penting seperti kelas sosial, etnis, geografi, dan gender.
Artinya, narasi biner tentang kaum muda sebagai penentu nasib bangsa sekaligus generasi stroberi sama-sama berbahaya. Sebab, narasi semacam ini terlalu menyederhanakan pengalaman mereka dan mereduksinya sekadar sebagai target pembangunan.