FOMOMEDIA – PDIP dan Gerindra beda pandangan mengenai revisi UU Kementerian Negara. Apakah ini pertanda PDIP menjadi oposisi?
Wacana penambahan jumlah kementerian negara semakin santer. Kali ini muncul pandangan berbeda soal revisi Undang-Undang Kementerian Negara dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP dengan Partai Gerindra.
PDIP menganggap bahwa aturan yang sudah ada masih relevan dan tak perlu untuk diubah. Sedangkan, bagi Gerindra dan partai politik yang menjadi koalisinya di Pilpres 2024 lalu, membuka peluang adanya revisi UU tersebut. Menariknya, ada usulan bahwa revisi bisa dilakukan sebelum presiden dan wakil presiden dilantik pada Oktober mendatang.
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa desain aturan berfungsi untuk mencapai tujuan nasional dan bukan mengonsolidasikan kepentingan politik. Apalagi, menurutnya, dua kondisi itu perlu dikesampingkan lantaran Indonesia tengah menghadapi banyak tantangan.
”Seluruh desain dari kementerian negara itu kan bertujuan untuk mencapai tujuan bernegara, bukan untuk mengakomodasikan seluruh kekuatan politik. Ini yang harus dibedakan,” kata Hasto, dikutip dari Kompas.
Lebih lanjut, Hasto menilai beberapa tantangan seperti pelemahan rupiah, masalah tenaga kerja, deindustrialisasi, kualitas kesehatan, hingga geopolitik membutuhkan pemerintahan yang efektif serta efisien. Oleh sebab itu, negara ini tak seharusnya menambah jumlah menteri.
Tak jauh beda dengan Hasto, Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia, Mahfud MD, justru menilai adanya penambahan kementerian negara bakal memperbesar ceruk terjadinya tindak pidana korupsi. Bahkan, penambahan ini bisa mengarahkan pada tindakan kolusi yang merusak negara.
“Nanti orang bikin kegiatan, pemilu menang, karena terlalu banyak yang dijanjikan, menteri-menteri diperluas lagi. Menteri dulu kan 26, jadi 34, lalu ditambah lagi. Besok pemilu yang akan datang tambah lagi jadi 60, pemilu lagi tambah lagi, karena kolusinya semakin meluas dan semakin minta, rusak ini negara,” kata Mahfud, dikutip dari CNN Indonesia.
Presiden yang Menetapkan
Sejauh ini, PDIP menilai bahwa UU Kementerian Negara masih relevan dan disusun secara visioner. Namun, Hasto tak menampik bahwa setiap presiden memiliki kebijakan dan rumusan masing-masing.
”Pada zaman Ibu Megawati (Presiden ke-5), kementerian perdagangan dan industri menjadi satu. Pada periode pertama Presiden Joko Widodo melihat itu butuh pemisahan, kemudian juga dibentuk badan ekonomi kreatif,” ujar Hasto.
BACA JUGA:
Berbeda pandangan dengan Hasto, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan bahwa UU Kementerian Negara membatasi kewenangan presiden terpilih. Menurutnya, presiden terpilih, dalam lima tahun mendatang memiliki tantangan kebijakan yang berbeda.
”Masalahnya, nomenklatur dari pemerintahan itu selalu berbeda dan tantangan programnya juga berbeda, itu yang menyebabkan saya kira hampir di setiap kementerian. Dari Ibu Mega ke Pak SBY ada penambahan atau perubahan, dari Pak SBY ke Pak Jokowi juga ada. Apakah dari Pak Jokowi ke Pak Prabowo ada perubahan? Itu yang saya belum tahu,” kata Muzani.
Lebih lanjut, Muzani menyebut bahwa UU Kementerian Negara bersifat fleksibel dan tidak terpaku pada jumlah nomenklatur.
Jumlah 34 Sudah Ideal
Sejak ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai pemenang calon presiden terpilih, Prabowo Subianto semakin gencar merangkul banyak pihak. Bahkan, rangkulan ini juga merembet ke pihak oposisi ketika kontestasi Pilpres 2024.
Koalisi Prabowo dianggap semakin gemuk. Maka, untuk menampung semua anggota koalisi itu, muncul anggapan bahwa jumlah kementerian negara bakal ditambah.
Menyitat laporan Kompas, kabinet pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka diharapkan tidak diputuskan berdasarkan kepentingan politik dagang sapi. Termasuk dalam jumlah kementerian, UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara telah membatasi jumlah maksimal kementerian sebanyak 34.
Sejak aturan itu disahkan, jumlah kementerian negara tidak pernah melebihi 34. Namun, belakangan muncul wacana bahwa jumlah tersebut sudah tidak relevan dan idealnya adalah berjumlah 41. Usulan itu merupakan ide yang dilontarkan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN).
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Universitas Indonesia (UI), Eko Prasojo, menilai bahwa jumlah kementerian idealnya tetap sesuai UU Kementerian Negara. Bahkan, jumlah kabinet seharusnya bisa dibuat lebih ramping.
”Pemerintahan di Indonesia ini desentralistik artinya banyak diserahkan ke pemerintah kabupaten dan kota. Karena hanya membuat kebijakan yang sifatnya makro, seharusnya kementerian dan lembaga di pusat minimalis, dan gemuknya di daerah,” kata Eko, dikutip dari Kompas.
Apalagi, saat ini pemerintah telah mengikuti tren digitalisasi dengan pemanfaatan teknologi informasi. Jadi, idealnya kabinet bisa dibuat lebih sederhana.
Penulis: Sunardi
Editor: Safar
Ilustrator: Vito