Internasional | Kriminal | Thailand
FOMOMEDIA – Gara-gara hina monarki Thailand, seorang aktivis harus masuk penjara dan meninggal. UU lese-majesty memang mengerikan.
Seorang aktivis prodemokrasi Thailand bernama Netiporn “Bung” Sanesangkhom harus mengalami nasib apes. Perempuan 28 tahun tersebut harus mengembuskan napas terakhirnya di penjara karena rezim monarki Thailand.
Netiporn mendekam dalam penjara usai turut menyuarakan gerakan reformasi penghapusan sistem kerajaan di Negeri Gajah Putih. Ia ditahan pada 26 Januari 2024. Sejak saat itu, ia harus mendekam di balik jeruji besi.
Meski sudah ditahan, Netiporn masih terus melakukan perlawanan. Dalam aksinya, ia melakukan aksi mogok makan selama beberapa bulan terakhir. Hingga akhirnya, ia dinyatakan meninggal usai jantungnya “berhenti tiba-tiba” pada Selasa (14/5/2024) lalu.
This week, Netiporn ‘Bung’ Sanesangkhom, a Thai pro-democracy activist, passed away after a prolonged hunger strike in detention.
Her death is a shocking reminder that Thai authorities are harshly denying pro-democracy activists their freedom. https://t.co/Ccgk7PW6Hw
— Amnesty International (@amnesty) May 16, 2024
Diketahui, Netiporn melakukan protes terhadap monarki tak sendirian. Ia merupakan bagian dari gerakan pemuda yang menyerukan reformasi kerajaan.
Netiporn, menyitat laporan BBC, melakukan aksi penuntutan terhadap reformasi sistem peradilan Thailand. Salah satunya adalah Undang-Undang (UU) lese-majesty. UU tersebut dianggap sangat mudah untuk memenjarakan warga Thailand ketika diketahui menghina kerajaan.
Dalam pengadilan, Netiporn menghadapi dua tuduhan berbeda. Awalnya, ia dianggap menghina pengadilan. Kemudian, ia dianggap telah memengaruhi persepsi publik mengenai kegiatan yang dilakukan orang-orang kerajaan.
Jika terbukti bersalah, maka penjara 15 tahun siap menanti Netiporn. Namun, belum sampai ia dinyatakan bersalah atau tidak, napasnya sudah meregang di dalam sel tahanan.
BACA JUGA:
Kerasnya UU Lese-Majesty
Keberadaan UU lese-majesty di Thailand seakan menjadi momok menakutkan warganya. Peraturan tersebut kerap dipakai pihak kerajaan untuk memenjarakan orang siapa pun yang dianggap menentang.
UU ini sudah ada sejak tahun 1908. Namun, hukuman diperberat dan semakin merugikan rakyat terhitung sejak 1976. Dalam Pasal 112 KUHP Thailand, mengatakan siapa pun yang “mencemarkan nama baik, menghina atau mengancam raja, ratu, ahli waris atau bupati” akan dihukum dengan hukuman penjara antara tiga dan 15 tahun.
Dalam beberapa kasus yang pernah terjadi, UU tersebut terbukti ampuh untuk membuat warga Thailand masuk ke dalam bui, seperti dialami oleh seorang pria yang dijatuhi hukuman 50 tahun penjara berdasarkan UU lese-majesty. Hukuman ini menjadi terlama selama UU tersebut diterapkan.
Thai authorities should immediately drop the charges and release pro-democracy activists detained for insulting the monarchy.
Two of the activists, Netiporn “Bung” Sanesangkhom and Nutthanit “Bai Por” Duangmusit, have been on a hunger strike since June 2. https://t.co/dMbIjgg2dn pic.twitter.com/AqvY70ht9z
— Human Rights Watch (@hrw) July 19, 2022
Sementara itu, tak hanya masyarakat biasa yang bisa kena jerat UU lese-majesty. Seorang anggota parlemen bernama Rukchanok Srinork harus mendekam di penjara selama 6 tahun gara-gara menghina monarki via media sosial.
Meski Rukchanok seorang politisi anggota Partai Move Forward, dirinya juga bisa menjadi incaran UU tersebut. Apalagi, partainya juga menjadi salah satu yang paling progresif dalam menentang sistem monarki Thailand.
Move Forward sendiri dengan wacana menentang dan menghapuskan lese-majesty itu, mampu menang dalam Pemilu 2023.
Sementara itu, UU lese-majesty dianggap telah memakan banyak tumbal. Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand menyebut sejak protes massal pada 2020, setidaknya ada 2 ribu orang telah diadili di pengadilan.
Penulis: Sunardi
Editor: Safar
Ilustrator: Vito