Dengarkan artikel ini:
Warganet di media sosial dihebohkan dengan fenomena popularitas Calon Wali Kota New York City Zohran Mamdani, termasuk di Indonesia. Bagaimana bila Zohran merupakan calon pemimpin di Indonesia?
“I am humbled by the support of more than 545,000 New Yorkers in last week’s primary.” – @ZohranKMamdani di X (1/7/2025)
Di sela-sela waktu istirahat makan siang, Cupin membuka media sosial dan tak sengaja menemukan video kampanye seorang politikus muda bernama Zohran Mamdani. Ia kaget, karena video itu bukan dibagikan oleh akun luar negeri, melainkan oleh warganet Indonesia yang ramai membahas Zohran seolah-olah ia adalah “akamsi Jaksel” yang nyasar ke New York.
Zohran Mamdani, seorang anggota dewan negara bagian New York, tiba-tiba jadi bahan pembicaraan hangat karena mencalonkan diri sebagai Wali Kota NYC. Gayanya yang santai, lugas, dan dekat dengan akar komunitas membuat banyak orang—termasuk netizen Indonesia—merasa ada harapan baru dalam dunia politik.
Cupin membaca komentar-komentar yang membandingkan Zohran dengan para politisi muda di Indonesia. Beberapa menyebut nama-nama seperti Giring, Tsamara, hingga Anies muda, tapi tak ada yang benar-benar “klik” seperti Zohran yang dinilai otentik dan konsisten dalam advokasi sosialnya.
Di TikTok dan X, Zohran terlihat berjalan kaki menyapa warga, ikut demonstrasi, dan bicara tentang gentrifikasi hingga perumahan rakyat—topik yang juga relevan di kota-kota besar Indonesia. Hal itu membuat Cupin semakin terlibat dalam mengikuti jejak Zohran, walau hanya lewat layar ponsel.
Kini, Cupin mulai bertanya-tanya dalam hati, sambil menatap langit Jakarta yang mendung sore itu: Mengapa Zohran bisa begitu fenomenal? Mungkinkah Indonesia memiliki Zohran-nya sendiri?
Bila Zohran Jadi Cagub Jakarta
Sore itu, Cupin duduk di dekat jendela sambil membuka laptopnya. Ia penasaran, bagaimana kalau Zohran Mamdani, yang kini ramai dibicarakan karena kampanyenya di New York, tiba-tiba maju di Pilkada Jakarta 2024?
Cupin lalu mulai membandingkan program Zohran dengan beberapa tokoh Jakarta yang dikenal, seperti Pramono Anung dan Ridwan Kamil. Ia menemukan bahwa Zohran punya banyak kecocokan program, terutama dengan Pramono, seperti perumahan murah, transportasi gratis, hingga layanan sosial dan pendidikan—bahkan tingkat kesamaannya bisa mencapai 75–80%.
Cupin juga mencatat bahwa retorika kampanye Zohran yang progresif dan menyatukan bisa cocok untuk pemilih muda Jakarta yang haus perubahan. Kalau Zohran dikenal luas di sini, dan tidak bergantung pada mesin partai, potensi kemenangannya di Jakarta bisa mencapai 55–65%—cukup besar untuk ukuran “pendatang baru”.
Namun Cupin sadar, konteks politik Jakarta jauh berbeda dengan New York. Jakarta punya realitas sosial yang lebih kompleks dan pemilih yang cenderung pragmatis, sehingga program seperti pembekuan sewa dan pajak progresif mungkin perlu penyesuaian.
Meski begitu, Cupin tetap terpesona oleh gagasan bahwa gaya kampanye dan program seperti milik Zohran bisa hidup juga di Jakarta. Ia pun kembali termenung: Bila Zohran punya potensi di Indonesia, mungkinkah Indonesia memiliki Zohran-nya sendiri di masa depan?
Mencari Zohran Versi Indonesia
Pagi itu, Cupin kembali scrolling media sosial dan menemukan diskusi baru soal “Zohran lokal”—sosok muda progresif yang bisa jadi alternatif dalam dinamika politik Indonesia. Ia pun mulai membayangkan, seperti apa jadinya bila ada figur seperti Zohran Mamdani yang muncul dari warga biasa, membawa agenda perubahan dan bicara langsung ke rakyat?
Namun, Cupin sadar jalan menuju kekuasaan di Indonesia jauh lebih rumit daripada sekadar program yang bagus atau retorika yang menyentuh. Dinamika elektoral di negara ini sangat ditentukan oleh restu elite, struktur partai, dan aliansi kekuasaan yang tak selalu berpihak pada gagasan segar.
Ia teringat saat Anies Baswedan sempat mencuat ingin maju lagi di Pilkada Jakarta 2024, namun gagal mendapat kendaraan politik karena tarik-menarik kepentingan elite. Bahkan seorang tokoh nasional sekaliber Anies pun bisa tersingkir dari panggung karena struktur kekuasaan lebih mendahulukan kompromi politik dibanding pilihan publik.
Cupin kemudian berpikir, jika Anies yang sudah dikenal dan punya basis pemilih saja bisa gagal maju, bagaimana nasib seorang “Zohran baru” yang mungkin belum punya dukungan elite atau jaringan luas? Sosok alternatif seperti itu bisa dengan mudah tergerus atau bahkan ditutup aksesnya sejak awal oleh sistem yang sudah terkunci.
Akhirnya, Cupin menutup laptopnya sambil menghela napas. Meskipun banyak yang berharap akan lahir “Zohran baru” di Indonesia, realitas politik yang penuh sandungan membuat harapan itu terasa jauh. Memang, gagasan perubahan selalu menarik, tapi di negara ini, kekuasaan sering kali lebih ditentukan oleh siapa yang mengizinkan, bukan oleh siapa yang layak. (A43)